Fenomena Kidult: Dewasa Yang Bangga Menjadi Anak-Anak Lagi
Fenomena Kidult Menjadi Salah Satu Tren Sosial Paling Menarik Di Era Modern, Di Mana Orang Dewasa Dengan Bangga Menikmati. Dari mengoleksi mainan, menonton kartun, hingga bermain gim yang dulu dicintai saat kecil, para “kidult” (gabungan kata kid dan adult) menunjukkan bahwa menjadi dewasa tidak harus kehilangan sisi kekanak-kanakan yang membawa kebahagiaan. Fenomena ini mencerminkan perubahan cara pandang terhadap kedewasaan, di mana masyarakat kini lebih terbuka terhadap ekspresi diri dan nostalgia masa lalu.
Fenomena ini sebenarnya bukan sesuatu yang benar-benar baru, tetapi kini menjadi jauh lebih populer berkat media sosial dan budaya pop global. Dulu, seseorang yang masih menyukai mainan di usia dewasa mungkin dianggap “tidak matang” atau “kekanak-kanakan.” Namun, kini, masyarakat mulai memahami bahwa setiap orang memiliki cara berbeda untuk menemukan kebahagiaan dan mengelola stres.
Akar Munculnya Fenomena Kidult. Munculnya kidult culture tidak lepas dari kombinasi antara nostalgia, perkembangan industri hiburan, dan meningkatnya daya beli generasi muda. Nostalgia memainkan peran besar banyak orang dewasa saat ini berasal dari generasi 90-an dan awal 2000-an yang tumbuh di era kejayaan kartun, mainan legendaris, serta gim klasik. Ketika mereka dewasa dan mulai memiliki penghasilan sendiri, dorongan untuk “menghidupkan kembali masa kecil” menjadi semakin kuat.
Selain itu, industri hiburan dan produsen mainan juga berperan penting dalam menghidupkan tren ini. Banyak perusahaan seperti LEGO, Bandai, atau Funko Pop mengeluarkan produk edisi khusus untuk pasar orang dewasa. Misalnya, LEGO menghadirkan seri “Adults Welcome” yang menonjolkan desain rumit dan bernilai estetika tinggi, bukan sekadar mainan anak-anak. Di sisi lain, serial dan film seperti Toy Story 4, Barbie, atau Spider-Man: Across the Spider-Verse juga menargetkan penonton dewasa yang tumbuh bersama karakter-karakter tersebut.
Psikologi Di Balik Fenomena Kidult
Psikologi Di Balik Fenomena Kidult. Secara psikologis, fenomena ini bisa dijelaskan lewat kebutuhan manusia untuk menemukan rasa aman dan kebahagiaan dalam hal-hal yang familiar. Aktivitas seperti bermain gim klasik atau membeli mainan dari masa kecil dapat memunculkan hormon dopamin zat kimia yang membuat kita merasa senang dan nyaman. Dalam banyak kasus, nostalgia juga berfungsi sebagai bentuk coping mechanism terhadap stres, kesepian, atau tekanan sosial.
Menariknya, menjadi kidult tidak berarti seseorang menolak kedewasaan. Justru, banyak orang yang sadar bahwa bermain dan bernostalgia adalah bagian dari menjaga kesehatan mental. Para psikolog menyebut fenomena ini sebagai “inner child healing” upaya menyembuhkan luka masa kecil atau memberi ruang bagi sisi diri yang dulu tidak sempat bahagia.
Dampak Sosial dan Ekonomi. Fenomena kidult tidak hanya berdampak pada aspek pribadi, tetapi juga menciptakan peluang ekonomi besar. Menurut laporan dari beberapa lembaga riset gaya hidup global, industri mainan untuk orang dewasa meningkat pesat dalam lima tahun terakhir. Penjualan figur koleksi dan gim retro melonjak signifikan, terutama setelah pandemi COVID-19 yang membuat banyak orang menghabiskan waktu di rumah.
Selain itu, muncul pula komunitas-komunitas online yang menghubungkan para penggemar hobi tertentu seperti pengoleksi Hot Wheels, Gundam, Funko Pop, atau Pokémon Cards. Komunitas ini tidak hanya menjadi ruang nostalgia, tetapi juga ladang bisnis baru. Beberapa kolektor bahkan menjadikan hobi ini sebagai sumber penghasilan, dengan menjual barang-barang langka yang bernilai tinggi.
Di sisi lain, media sosial juga memainkan peran penting dalam memperkuat tren ini. Platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube dipenuhi konten bertema “kidult”, mulai dari unboxing mainan, room tour kolektor, hingga cosplay event. Tren ini membentuk identitas baru di kalangan anak muda yang bangga menunjukkan minatnya tanpa takut dihakimi.
Fenomena Kidult Di Indonesia
Fenomena Kidult Di Indonesia. Di Indonesia sendiri, fenomena ini mulai terlihat jelas dalam beberapa tahun terakhir. Pameran mainan seperti Indonesia Comic Con, Popcon Asia, dan Toys & Games Expo selalu ramai dipadati pengunjung dewasa. Banyak dari mereka datang tidak hanya untuk membeli koleksi baru, tetapi juga untuk mengenang masa kecil mereka melalui karakter.
Selain itu, banyak kreator lokal kini ikut memanfaatkan tren ini dengan membuat konten nostalgia di media sosial seperti video mengenang jajanan SD, kartun jadul, atau mainan masa kecil. Bahkan, beberapa merek besar juga ikut terinspirasi dari budaya kidult, seperti munculnya desain pakaian bertema karakter anime, kartun, hingga kolaborasi dengan merek mainan internasional.
Fenomena ini juga memperlihatkan bagaimana budaya populer bisa menjadi alat pemersatu lintas generasi. Orang tua dan anak bisa menikmati hal yang sama misalnya menonton Dragon Ball atau membangun LEGO bersama. Hal ini menciptakan ruang interaksi baru yang memperkuat hubungan keluarga dan komunitas.
Selain itu, fenomena kidult di Indonesia juga memperlihatkan bagaimana perubahan gaya hidup dan nilai sosial masyarakat modern. Di tengah tekanan ekonomi, pekerjaan, serta ekspektasi sosial yang tinggi, banyak orang dewasa merasa perlu mencari pelarian emosional lewat hal-hal yang membawa kebahagiaan sederhana. Koleksi mainan, menonton kartun, atau bermain gim klasik menjadi bentuk “self-care” baru yang membantu mereka menenangkan pikiran dan mengembalikan semangat. Bahkan, beberapa komunitas kidult di kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya kini rutin mengadakan pertemuan, pameran, hingga workshop untuk berbagi hobi serta memperluas jaringan sosial antaranggota.
Di sisi lain, industri kreatif juga semakin cerdas dalam membaca pasar ini. Banyak perusahaan mulai merilis produk edisi nostalgia dari sepatu dengan motif karakter kartun tahun 90-an, hingga kafe bertema retro. Fenomena ini menunjukkan bahwa menjadi dewasa tidak selalu berarti harus meninggalkan kesenangan masa kecil.
Dari Hobi Menjadi Identitas
Dari Hobi Menjadi Identitas. Menjadi seorang kidult kini bukan lagi sekadar hobi, melainkan bagian dari identitas diri. Banyak orang yang menjadikan minat mereka terhadap mainan, film, atau gim sebagai bagian dari gaya hidup. Mereka tidak malu menampilkan sisi kekanak-kanakan di ruang publik karena melihatnya sebagai bentuk kejujuran dan kebebasan berekspresi.
Kebanggaan ini juga mencerminkan pergeseran nilai sosial. Jika dulu kedewasaan diartikan sebagai keseriusan dan tanggung jawab semata, kini kedewasaan juga diartikan sebagai kemampuan untuk mengenal dan menerima diri sendiri, termasuk sisi kekanak-kanakan yang membuat hidup terasa lebih berwarna.
Selain itu, identitas sebagai kidult juga sering kali menjadi simbol solidaritas dan kebersamaan. Banyak orang merasa lebih diterima dalam komunitas dengan minat serupa, di mana mereka bisa berbagi cerita, koleksi, hingga pengalaman masa kecil yang membentuk kepribadian mereka sekarang. Media sosial turut memperkuat hal ini dengan memberikan ruang bagi para kidult untuk mengekspresikan diri tanpa takut dihakimi. Lewat unggahan foto, video unboxing, atau ulasan produk nostalgia, mereka membangun jejaring dan bahkan menjadikannya sebagai peluang bisnis.
Kidult: Refleksi Zaman yang Butuh Keseimbangan. Fenomena kidult bisa dilihat sebagai cerminan zaman modern yang serba cepat dan cenderung membuat manusia kehilangan waktu untuk menikmati. Di tengah kesibukan dan tuntutan hidup yang tinggi, menghidupkan kembali sisi anak-anak dalam diri menjadi bentuk perlawanan lembut terhadap stres. Lebih dari itu, tren ini juga mengajarkan bahwa kebahagiaan tidak selalu harus datang dari pencapaian besar atau hal-hal mewah.
Terkadang, kebahagiaan justru datang dari hal-hal sederhana yang membuat kita tersenyum seperti memegang mainan yang dulu disimpan di lemari, menonton ulang film kartun kesukaan, atau sekadar mendengarkan lagu tema masa kecil yang membawa kenangan hangat dari Fenomena Kidult.