Tradisi Ruwahan Merupakan Salah Satu Bentuk Kearifan Lokal Yang Di Lakukan Masyarakat Jawa Dalam Menyambut Datangnya Bulan Ramadan. Selanjutnya tradisi ini biasanya berlangsung pada bulan Sya’ban, bulan sebelum Ramadan dalam kalender Hijriyah. Ruwahan menjadi momen bagi masyarakat untuk mengenang leluhur dengan berbagai ritual dan doa bersama. Kegiatan ini mencerminkan nilai-nilai gotong royong serta penghormatan terhadap keluarga yang telah meninggal dunia. Selain itu, ruwahan juga menjadi sarana introspeksi diri sebelum memasuki bulan suci yang penuh keberkahan.
Dalam tradisi ini masyarakat biasanya menggelar kenduri atau selamatan di rumah maupun di makam keluarga. Mereka membawa berbagai hidangan khas seperti nasi tumpeng, apem, kolak dan jajanan tradisional lainnya yang di bagikan kepada tetangga atau kerabat. Doa bersama menjadi inti dari ritual ini, di mana para tokoh agama atau sesepuh kampung memimpin pembacaan tahlil dan yasin untuk mendoakan arwah leluhur. Tidak hanya itu, ada pula tradisi membersihkan makam yang di sebut nyadran, di mana masyarakat bergotong royong merapikan area pemakaman dan menaburkan bunga sebagai bentuk penghormatan.
Selanjutnya Tradisi Ruwahan tidak hanya memiliki nilai spiritual tetapi juga mempererat hubungan sosial antarwarga. Dengan berkumpul bersama dalam suasana kebersamaan, masyarakat dapat berbagi rezeki dan mempererat tali silaturahmi sebelum memasuki bulan Ramadan. Meskipun zaman terus berkembang, tradisi ini masih tetap lestari di berbagai daerah sebagai wujud kearifan budaya yang di wariskan turun-temurun. Tradisi ini menjadi pengingat bahwa persiapan menyambut Ramadan bukan hanya secara fisik, tetapi juga dari segi spiritual dan sosial. Hal inilah yang menjadikan tradisi ruwahan tetap bermakna dalam kehidupan masyarakat. Selain itu tradisi ruwahan juga menjadi kesempatan bagi keluarga yang merantau untuk pulang ke kampung halaman dan berkumpul dengan sanak saudara. Momen ini memperkuat ikatan kekeluargaan serta mengajarkan generasi muda tentang pentingnya menghormati leluhur. Dengan demikian, ruwahan tetap lestari sebagai bagian dari budaya Jawa.
Apa Itu Tradisi Ruwahan?
Berikut ini kami akan membahas pertanyaan yang sering muncul tentang Apa Itu Tradisi Ruwahan?. Tradisi ruwahan merupakan salah satu warisan budaya yang masih lestari di kalangan masyarakat Jawa. Kata ruwahan berasal dari istilah ngluru arwah, yang berarti mencari atau mengenang arwah para leluhur, orang tua, serta kerabat yang telah meninggal dunia. Tradisi ini di jalankan setiap bulan Ruwah dalam kalender Jawa atau bulan Sya’ban dalam kalender Hijriah. Masyarakat percaya bahwa bulan ini merupakan waktu yang tepat untuk mengirimkan doa dan mengenang jasa mereka yang telah tiada, sebagai bentuk penghormatan serta tanda bakti kepada leluhur.
Dalam pelaksanaannya, tradisi ini di awali dengan kegiatan ziarah kubur. Keluarga akan datang ke makam orang-orang terdekat mereka, membersihkannya dari rerumputan atau dedaunan kering, serta menaburkan bunga di atas pusara. Setelah itu, mereka akan mengirimkan doa bersama untuk mendoakan ketenangan dan keselamatan bagi arwah yang telah berpulang. Tidak hanya bersifat individual, kegiatan ini juga sering di lakukan secara bersama-sama oleh warga desa. Mereka akan mengunjungi makam leluhur desa atau tokoh-tokoh yang di anggap berjasa, menunjukkan bahwa nilai kebersamaan masih sangat di junjung tinggi dalam tradisi ini.
Setelah ziarah kubur, masyarakat biasanya melanjutkan dengan acara selamatan atau syukuran di rumah masing-masing atau di balai desa. Dalam acara ini, di adakan doa bersama yang di pimpin oleh tokoh agama atau sesepuh desa. Sebagai bentuk syukur, berbagai hidangan khas di sajikan, seperti kolak, apem dan ketan, yang memiliki makna filosofis tersendiri. Kolak melambangkan kelembutan hati dan kebaikan, apem sebagai simbol permohonan ampun, serta ketan yang mencerminkan eratnya ikatan persaudaraan.
Menurut Agama Islam
Selanjutnya kami juga akan membahas tentang tradisi ruwahan Menurut Agama Islam. Menurut KH Taufik Damas, tradisi ruwahan merupakan salah satu bentuk amal jariyah yang sejalan dengan ajaran Islam. Dalam hadis Nabi Muhammad SAW, di sebutkan bahwa ketika seseorang meninggal dunia, seluruh amalnya akan terputus kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan doa dari anak yang saleh. Oleh karena itu, tradisi ini menjadi salah satu cara bagi umat Islam untuk terus mengirimkan doa dan kebaikan kepada orang-orang yang telah berpulang.
Dalam Islam, mengenang dan mendoakan arwah leluhur bukan hanya sebagai bentuk penghormatan, tetapi juga bagian dari ibadah. Masyarakat Jawa meyakini bahwa ruwahan adalah sarana untuk menunjukkan rasa bakti kepada orang tua dan leluhur yang telah meninggal. Tradisi ini di lakukan dengan menggelar doa bersama, memberikan sedekah dan berbagi makanan kepada sanak saudara serta tetangga. Semua kegiatan tersebut di yakini sebagai amalan yang dapat membawa kebaikan bagi yang masih hidup maupun yang telah tiada.
Kata ruwahan sendiri berasal dari bahasa Arab, yaitu arwah, yang berarti roh atau jiwa. Seiring waktu, istilah ini berkembang dalam budaya Jawa dan menjadi bagian dari tradisi yang di lakukan menjelang bulan Ramadan. Selain mempererat hubungan sosial, ruwahan juga mengingatkan masyarakat akan pentingnya berbuat baik serta memperbanyak amal sebelum menghadapi bulan suci. Dengan demikian, tradisi ini tidak hanya memiliki makna spiritual, tetapi juga memperkuat nilai-nilai sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, ruwahan juga menjadi ajang untuk mempererat tali silaturahmi antarwarga. Dalam pelaksanaannya, masyarakat berkumpul, berbagi hidangan khas seperti apem dan ketan, serta saling mendoakan kebaikan. Tradisi ini mencerminkan kebersamaan dan nilai gotong royong yang kuat.
Momen Ruwahan Di Kraton Jogja
Selain itu kami juga akan menjelaskan kepada anda tentang Momen Ruwahan Di Kraton Jogja. Keraton Yogyakarta juga memiliki serangkaian acara khusus dalam menyambut bulan Ramadan, salah satunya adalah prosesi Kuthomoro. Berdasarkan catatan dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, upacara ini di selenggarakan setiap tanggal 13-15 Ruwah dalam kalender Sultan Agungan atau beberapa hari sebelum memasuki bulan puasa. Prosesi ini bertujuan untuk mendoakan arwah para leluhur Keraton Yogyakarta, sebagai bentuk penghormatan dan pengingat terhadap jasa-jasa para pendahulu. Tradisi ini mencerminkan nilai luhur masyarakat Jawa yang selalu mengutamakan penghormatan terhadap leluhur serta menjaga hubungan spiritual dengan mereka yang telah mendahului.
Dalam pelaksanaannya, para Abdi Dalem bertanggung jawab dalam menyiapkan berbagai perlengkapan khusus yang di sebut ubarampe. Beberapa di antaranya adalah lisah konyoh, yaitu minyak wangi yang di gunakan dalam prosesi, ratus atau serbuk kayu cendana yang di bakar sebagai pengharum, serta yatra tindih, yakni sejumlah uang yang di siapkan untuk membeli bunga sebagai bagian dari ritual ziarah. Bunga tersebut kemudian di gunakan untuk berziarah ke makam-makam para leluhur yang di sebut Kagungan Dalem. Tradisi ini terus di lestarikan sebagai bagian dari kearifan lokal dan kekayaan budaya Keraton Yogyakarta. Keseluruhan prosesi ini menunjukkan bagaimana masyarakat Jawa, khususnya di lingkungan Keraton, tetap menjaga nilai-nilai budaya dan spiritual yang di wariskan secara turun-temurun melalui Tradisi Ruwahan.