Upacara Nujuh Jerami Merupakan Tradisi Tahunan Yang Masih Lestari Di Kalangan Suku Lom Atau Suku Mapur Yang Bermukim Di Bangka Belitung. Selain itu upacara ini di laksanakan pada bulan April dan di sesuaikan dengan fase bulan purnama berdasarkan penanggalan Tionghoa. Sebagai perwujudan rasa syukur terhadap hasil panen, Nujuh Jerami menjadi momentum sakral yang menyatukan masyarakat dalam nilai-nilai kebersamaan, spiritualitas dan penghormatan terhadap alam. Pelaksanaan upacara ini melibatkan berbagai unsur adat dan ritual, menjadikannya bagian penting dari identitas budaya masyarakat Mapur.
Selain itu Upacara Nujuh Jerami di wariskan dari generasi ke generasi oleh para leluhur sebagai wujud penghargaan terhadap anugerah hasil bumi. Khususnya padi yang mereka tanam di sawah. Biasanya, jenis padi yang di panen adalah padi merah yang di anggap memiliki nilai simbolis dan gizi tinggi. Melalui prosesi ini, masyarakat Mapur tidak hanya mengungkapkan rasa terima kasih kepada Sang Pencipta. Tetapi juga berharap agar musim tanam berikutnya membawa panen yang lebih baik dan mencukupi kebutuhan keluarga sepanjang tahun. Dalam rangkaian acaranya, terdapat doa-doa khusus dan simbol-simbol yang mencerminkan harmoni antara manusia dan alam.
Tradisi ini bukan sekadar seremoni, melainkan menjadi jembatan yang menghubungkan kehidupan modern dengan akar budaya leluhur. Meskipun dunia terus berubah, masyarakat Suku Lom tetap menjaga nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Nujuh Jerami. Keterlibatan seluruh lapisan masyarakat, dari anak-anak hingga orang tua, mencerminkan kuatnya semangat gotong royong dan pelestarian budaya. Upacara ini pun menjadi daya tarik tersendiri bagi peneliti dan wisatawan yang ingin menyaksikan kekayaan tradisi lokal Bangka Belitung yang masih lestari hingga kini. Melalui pelestarian Upacara Nujuh Jerami, generasi muda Suku Mapur di harapkan terus menjaga jati diri dan kearifan lokal yang di wariskan leluhur. Tradisi ini menjadi simbol kekuatan budaya yang tetap hidup di tengah arus globalisasi.
Upacara Nujuh Jerami Di Gelar Di Umah Memarong
Berikut ini kami akan membahas tentang Upacara Nujuh Jerami Di Gelar Di Umah Memarong. Upacara Nujuh Jerami biasanya di pimpin oleh seorang tetua adat yang di hormati oleh masyarakat Suku Mapur. Upacara ini di selenggarakan di sebuah bangunan adat yang di sebut umah memarong, yang telah di bangun kembali secara gotong royong oleh warga Dusun Air Abik pada tahun 2019. Bangunan ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat berkumpul saat upacara adat, tetapi juga menjadi pusat kegiatan budaya masyarakat Mapur. Proses pembangunan ulang umah memarong di dasarkan pada ingatan kolektif dan pengetahuan turun-temurun tentang bentuk serta struktur rumah tradisional Mapur zaman dahulu.
Umah memarong kini menjadi simbol penting yang merepresentasikan eksistensi dan jati diri orang Mapur. Keberadaannya menjadi bukti nyata bahwa masyarakat masih berupaya menjaga warisan leluhur mereka di tengah perkembangan zaman. Bangunan ini berfungsi sebagai ruang pelestarian budaya, tempat berdiskusi, serta menyelenggarakan berbagai kegiatan adat dan sosial. Dalam konteks pelaksanaan Nujuh Jerami, umah memarong memiliki nilai spiritual, karena dianggap sebagai tempat yang sakral untuk menyampaikan doa, harapan dan ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta atas hasil panen yang melimpah.
Meskipun masyarakat Mapur tetap mempertahankan adat istiadat, kehidupan mereka telah mengalami perubahan seiring waktu. Rumah-rumah warga kini telah mengikuti gaya hunian modern layaknya rumah masyarakat Bangka pada umumnya. Akses terhadap fasilitas seperti listrik dan teknologi juga telah masuk ke wilayah mereka. Namun, hal tersebut tidak menghapus nilai-nilai budaya yang masih di pegang teguh. Justru perpaduan antara modernitas dan tradisi menciptakan keseimbangan dalam kehidupan masyarakat Mapur, menjadikan identitas budaya mereka tetap hidup dan terus berkembang.
Prosesi Sakral Di Mulai Dengan Kemai Dan Menumbuk Padi
Selanjutnya Prosesi Sakral Di Mulai Dengan Kemai Dan Menumbuk Padi merupakan bagian awal dari rangkaian ritual adat masyarakat Suku Mapur di Dusun Air Abik. Ritual ini di pimpin oleh ketua adat yang di sebut Abok Gedoi. Ia memulai dengan memercikkan air beras kuning hasil tumbukan ke berbagai sudut ruangan menggunakan seikat daun kesalan. Air tersebut di tempatkan dalam mangkuk tempurung kelapa dan di percikkan ke seluruh penjuru umah memarong serta kepada setiap orang yang hadir di dalamnya. Tindakan ini melambangkan penyucian dan perlindungan spiritual bagi semua yang terlibat dalam upacara.
Setelah ritual kemai selesai, perhatian beralih ke halaman depan rumah adat tempat di siapkan lesung dan alu. Tiga perempuan yang telah di tunjuk secara khusus akan menumbuk padi secara bergantian. Namun sebelum mereka memulai, ketua adat terlebih dahulu menumbuk padi sebanyak tujuh kali. Jumlah ini bukan tanpa makna, melainkan mencerminkan angka simbolik yang merujuk pada istilah “nujuh” atau tujuh dalam kepercayaan masyarakat setempat. Tujuh kali tumbukan ini di yakini sebagai bentuk permohonan agar hasil panen ke depan berlimpah dan penuh berkah.
Tumbukan pertama dari ketua adat menjadi tanda di mulainya rangkaian utama. Peran perempuan dalam menumbuk padi juga mencerminkan posisi penting mereka dalam struktur sosial dan kehidupan sehari-hari masyarakat Mapur. Selain sebagai kegiatan spiritual, ritual ini menjadi momen penguatan kebersamaan dan pengingat akan pentingnya menjaga tradisi yang telah di wariskan secara turun-temurun. Ritual ini tidak hanya mempererat ikatan sosial, tetapi juga memperkuat identitas budaya di tengah arus modernisasi. Setiap tahapan sarat makna, menjadikan tradisi ini tetap hidup dan di hormati oleh generasi muda masyarakat Mapur.
Hasil Tumbukan Di Masak Dan Di Lanjutkan Dengan Malet
Setelah padi di tumbuk oleh tiga perempuan, ketua adat mengambil beras merah yang kemudian di masak dalam ketel kecil bersama sebutir telur dan udang. Hasil Tumbukan Di Masak Dan Di Lanjutkan Dengan Malet dengan penuh perhatian, mengandung simbol keberkahan. Setelah matang, ketua adat mengambil sedikit nasi, telur dan udang untuk di bacakan doa-doa dan mantra. Kemudian, prosesi di lanjutkan dengan malet, yaitu menyentuhkan campuran nasi, telur dan udang tersebut pada berbagai alat pertanian seperti golok, parang, sabit, dan kapak. Hal ini merupakan bentuk permohonan keselamatan dan kelimpahan hasil pertanian pada masa mendatang.
Selain itu malet juga di lakukan pada batu asahan, dinding umah memarong, serta lesung dan alu yang di gunakan untuk menumbuk padi. Semua rangkaian ini merupakan simbol penghormatan kepada alam dan alat-alat pertanian yang mendukung kehidupan masyarakat. Sebagai bagian dari perayaan, sedekah gebong juga di gelar, yang menjadi hari raya bagi masyarakat Mapur. Setiap rumah menyiapkan berbagai kue dalam toples kaca yang bisa di nikmati oleh para tamu. Kegiatan ini mencerminkan rasa syukur atas rezeki yang di terima selama ini, sekaligus menjadi ajang untuk mempererat hubungan antarwarga. Melalui rangkaian ritual ini, masyarakat Mapur memperkuat ikatan sosial dan melestarikan tradisi mereka. Maka inilah pembahasan tentang Upacara Nujuh Jerami.