Polemik Tapera: Pro Dan Kontra Di Kalangan Pekerja
Polemik Tapera: Pro Dan Kontra Di Kalangan Pekerja

Polemik Tapera: Pro Dan Kontra Di Kalangan Pekerja

Polemik Tapera: Pro Dan Kontra Di Kalangan Pekerja

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
Polemik Tapera: Pro Dan Kontra Di Kalangan Pekerja
Polemik Tapera: Pro Dan Kontra Di Kalangan Pekerja

Polemik Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) Mencuat Ke Permukaan Sebagai Salah Satu Isu Nasional Paling Hangat. Berdasarkan PP No. 21/2024, seluruh pekerja PNS, swasta, dan pekerja mandiri yang berpenghasilan di atas upah minimum wajib mengikuti program ini. Iuran ditetapkan sebesar 2,5 % dari gaji pekerja, plus 0,5 % dari pemberi kerja, total mencapai 3 % dari penghasilan bulanan.

Tujuan Polemik Tapera adalah membantu menutup kesenjangan perumahan dengan menyediakan fasilitas kredit dan tabungan perumahan berbunga rendah. Dana disimpan di BP Tapera dan sebagian diinvestasikan umumnya dalam obligasi dan instrumen berisiko rendah untuk menjamin keuntungan stabil.

Respons Mahasiswa: Pro dan Kontra

1. Pro: Tabungan Rumah Murah & Disiplin Keuangan

  • Beberapa pekerja menyambut baik Tapera sebagai sarana otomatis untuk menabung rumah. Sebagaimana dikemukakan oleh seorang pekerja swasta yang menganggap simpanan ini lebih baik ketimbang gaya hidup konsumtif .

2. Kontra: Beban Tambahan Bagi Pekerja Berpenghasilan Rendah

  • Iuran 3 % saat ini dianggap memberatkan. Contohnya Cindy, seorang karyawan swasta berpenghasilan Rp 3,3 juta per bulan, mengaku hampir tidak mampu dengan tambahan potongan Tapera di tengah komitmen keuangan lainnya.

  • Untuk pekerja informal atau kontrak, biaya sebulan dipotong sekitar Rp 100 ribu bisa berdampak signifikan terhadap daya beli .

3. Kontra: Risiko Transparansi dan Penyaluran Dana

  • Masyarakat khawatir dana simpanan akan disalahgunakan, mengingat rekam jejak kasus seperti Jiwasraya dan Asabri.

  • Menurut Kompasiana, BPK sempat menemukan Rp 597 miliar dana Tapera belum dikembalikan kepada 124.960 peserta, membuktikan lemahnya tata kelola dan transparansi.

4. Kontra: Bukan Solusi Efektif bagi yang Belum Punya Rumah

  • Tokoh seperti Mahfud MD menyebut dana yang terakumulasi dari iuran 3 % selama 30 tahun hanya mencapai sekitar Rp 100 juta tidak cukup untuk membeli rumah sehingga lebih baik memakai skema KPR langsung daripada wajib ikut Tapera.

Inisiatif Hukum: Uji Materi Undang-Undang

Inisiatif Hukum: Uji Materi Undang-Undang, Pasal-pasal dalam UU No. 4/2016 terkait keikutsertaan wajib Tapera digugat di Mahkamah Konstitusi oleh seorang freelancer. Ia meminta agar Tapera menjadi sistem sukarela, bukan keharusan karena berpotensi melanggar hak konstitusional atas penghasilan pribadi.

Respons Pemerintah dan Otoritas BP Tapera

  • Pemerintah mengakui polemik tersebut dan berencana mengevaluasi skema wajib Tapera sesuai masukan dari berbagai pihak .

  • Menteri Perumahan memuji pimpinan BP Tapera karena berhasil mengelola program dengan lebih transparan dan efektif selama masa pro-kontra yang tinggi.
  • Pemerintah juga menjanjikan kerja sama yang lebih erat dengan DPR, pengusaha, dan serikat pekerja dalam menetapkan kebijakan detail dan skema.

Polemik Tapera yang mencuat ke permukaan mendorong pemerintah untuk lebih terbuka terhadap kritik publik. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyampaikan bahwa pemerintah tidak menutup kemungkinan melakukan peninjauan ulang atas skema wajib ini jika memang terbukti memberatkan masyarakat, terutama sektor informal dan pekerja berpenghasilan rendah.

Sementara itu, BP Tapera sebagai badan pelaksana program juga mulai melakukan langkah-langkah transparansi. Mereka mengklaim akan merilis laporan rutin yang bisa diakses publik, termasuk hasil investasi dana peserta dan laporan distribusi manfaat. Upaya ini dinilai penting untuk menghindari kecurigaan publik yang masih melekat terhadap lembaga pengelola dana wajib seperti Tapera, mengingat banyaknya skandal keuangan BUMN di masa lalu.

Pemerintah pun mulai menjajaki dialog terbuka dengan perwakilan buruh dan pengusaha. Forum tripartit antara Kemenaker, Apindo, dan serikat buruh dirancang untuk merumuskan skema yang lebih proporsional misalnya melalui sistem iuran bertingkat atau opsi partisipasi sukarela bagi pekerja informal. Bahkan beberapa anggota DPR dari komisi V dan XI juga menyarankan agar revisi undang-undang dilakukan jika nantinya uji materi di Mahkamah Konstitusi menemukan inkonsistensi terhadap UUD 1945, terutama terkait hak atas penghasilan dan perlindungan hukum.

Studi Banding: Pelajaran Dari Negara Lain

Studi Banding: Pelajaran Dari Negara Lain. Model serupa seperti dana perumahan nasional memang telah sukses diterapkan di beberapa negara, dengan pendekatan yang beragam namun memiliki prinsip dasar yang sama: mengelola dana tabungan wajib secara transparan dan memberikan manfaat langsung yang terasa oleh peserta.

Selain Singapore CPF (Central Provident Fund) yang terkenal karena transparansi dan fleksibilitasnya, Malaysia memiliki Employees Provident Fund (EPF) yang juga memungkinkan peserta menggunakan sebagian dana tabungan pensiun mereka untuk membeli rumah pertama. Sistem ini tidak hanya memberi keleluasaan, tetapi juga meningkatkan literasi keuangan karena peserta dapat memantau saldo dan penggunaan dananya secara real-time melalui aplikasi digital.

Di Korea Selatan, sistem National Housing Fund dikelola oleh Korea Housing Finance Corporation, yang memberikan pinjaman perumahan berbunga rendah kepada rumah tangga berpenghasilan rendah dan menengah. Yang menarik, kontribusi ke dana ini disesuaikan dengan penghasilan dan bisa dikombinasikan dengan subsidi pemerintah pusat untuk memperluas akses.

Sementara itu, di Jerman, negara tidak mewajibkan potongan gaji untuk perumahan, namun menyediakan berbagai insentif pajak dan program kredit ringan bagi warga yang ingin membeli rumah, termasuk skema “Bausparvertrag” yang memungkinkan warga menabung secara sukarela untuk tujuan pembelian properti dengan dukungan bunga rendah dari bank yang telah disetujui.

Studi banding ini menunjukkan bahwa kunci keberhasilan program perumahan nasional terletak pada: fleksibilitas kontribusi, jaminan transparansi, dan kepercayaan publik. Tanpa elemen-elemen ini, kebijakan seperti Tapera berisiko menjadi beban sosial, bahkan menimbulkan resistensi massal seperti yang tengah terjadi di Indonesia.

Antara Kebaikan Dan Beban

Antara Kebaikan Dan Beban. Program Tapera memiliki niat baik: membantu pekerja mewujudkan rumah layak. Namun pro posisinya tidak seimbang dengan tantangan nyata dari tenaga kerja dan pelaku usaha. Evaluasi menyeluruh diperlukan: apakah Tapera harus dijadikan wajib atau lebih baik bersifat sukarela, dengan sistem subsidi dan jaminan pencairan.

Pelaksanaan yang berhasil akan membutuhkan transparansi lengkap, regulasi adaptif, dan kemauan untuk berkolaborasi antara pemerintah, DPR, serikat pekerja, dan pengusaha. Jika tidak, Tapera berisiko jadi beban negara dan pekerja sekali lagi tanpa hasil nyata bagi mereka yang paling membutuhkan.

Lebih jauh, perlu dipertimbangkan pula mekanisme diferensiasi kontribusi, di mana pekerja dengan gaji rendah diberikan potongan yang lebih ringan atau bahkan dibebaskan dari iuran, sementara mereka yang berpenghasilan menengah ke atas tetap berkontribusi sesuai proporsinya. Dengan pendekatan progresif ini, keadilan sosial lebih bisa tercapai dan resistensi dari kelompok rentan bisa diredam.

Selain itu, transparansi mutlak diperlukan. Laporan keuangan BP Tapera sebaiknya dipublikasikan secara berkala dan mudah diakses publik melalui platform digital. Audit independen tahunan oleh lembaga eksternal juga wajib dilakukan untuk memastikan bahwa setiap rupiah dana peserta dikelola secara aman. Pemerintah perlu membuka saluran pengaduan langsung bagi peserta, termasuk kanal daring untuk memantau perkembangan dana secara real-time.

Yang paling penting, kepercayaan masyarakat harus dibangun melalui bukti nyata. Jika Tapera bisa menunjukkan contoh konkret: pekerja kelas menengah yang berhasil membeli rumah dengan skema ini dalam 5-10 tahun. Tanpa keberhasilan seperti itu, program ini akan terus memicu ketidakpercayaan publik dan berpotensi menjadi Polemik Tapera.

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait